Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Bagi para pemula yang hendak belajar fokus seputar hukum Islam, tiga istilah ini harus dikenal dan dipahami agar tak tersesat di tengah jalan. Tiga istilah rumpun ilmu ini memiliki keduudkan yang sangat penting dalam memahami hukum Islam. Tanpa mengenal jenis kelamin dari tiga rumpun ilmu ini, belajar dan mendalami hukum Islam mendekati kegagalan yang fatal. Penting untuk dipahami sebelum melangkah jauh belajar seluk beluk hukum tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait kelindan satu sama lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih. Umat Islam pada umumnya lebih familiar fikih dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan sederhananya karena fikih bersinggungan dalam keseharian perilaku kaum muslimin. Definisi yang mudah dipahami oleh semua kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan tindak tanduk orang mukallaf terpantau dan disorot oleh fikih. Dengan demikian, fikih merupakan panduan praktis tentang tata cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam berinteraksi secara vertikal berhubungan dengan Tuhan yang dikenal dengan ibadah, atau interaksi horizontal berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan yang disebut dengan muamalah dalam arti yang istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis yang diperoleh melalui proses istinbat menggali dan menelaah dari dalil-dalil syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu nahkumu biddhawahir kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak. Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa dzauq yang digarap oleh ilmu tasawuf. Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada rukun. Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib. Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan sebagai ketentuan umum dominan yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah fikih menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang terkait dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan tertentu tidak dapat dikalahkan dengan munculnya disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik, sementara fikih merupakan produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang menghubungkan produk-produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam produksi. Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara proses bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk menata dan mengkaitkan sekaligus merawat produk yang dihasilkan. Andaikan fikih adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah fikih mengelompokkan jenis-jenis produk secara lebih detail antara ushul fikih dan kaidah fikih antara lain sebagai berikutUshul fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum syar’i dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih berfungsi sebagai pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang hierarkis urutan kemunculannya adalah ushul fikih sebelum fikih, sementara munculnya kaidah fikih setelah kajian ushul fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama dengan fikih, yakni perbuatan orang fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih muncul melalui pendekatan tulisan ini sengaja ditata berdasarkan urutan hierarki penggunaannya. Ushul fikih sebagai rumah produksi, fikih sebagai hasil produknya, lalu kaidah fikih yang bertugas mengelompokkan jenis-jenis produknya. Semoga dapat menyumbangkan titik terang jenis kelamin’ tiga rumpun ilmu di atas. *** Lihat Pendidikan Selengkapnya
MATERI1 A. mengenal rukun islam rukun islam ada 5, yaitu : 1. mengucapkan syahadat 2. melaksanakan sholat 3. membayar zakat 4. shaum pada bulan romadlon 5. melaksanakan ibadah haji rukun artinya dasar, rukun islam artinya dasar ajaran islam. setiap orang islam harus melaksanakan rukun islam dengan sebaik-baiknya. tugas : mampu menyebutkan
Ilustrasi i'tidal. Sumber UnsplashGerakan I’tidal merupakan salah satu rukun dalam ibadah sholat yang perlu ditunaikan oleh umat muslim agar amalannya dapat sah dan diterima oleh Allah SWT. Adapun gerakan I’tidal tersebut ialah posisi berdiri setelah selesai melakukan gerakan ruku’ dalam seorang muslim melakukan posisi I’tidal dalam sholat, maka orang tersebut juga dianjurkan untuk melakukan I’tidal dengan tuma’ninah. Mengutip dari Fiqh Islam sulaiman Rasjid 2019 82, tuma’ninah sendiri memiliki arti berdiam sebentar. Oleh sebab itu, saat melaksanakan I’tidal kita perlu untuk berdiam sebentar dalam posisi berdiri sambil melafalkan bacaan I’tidal. Adapun bacaan I’tidal yang perlu dipanjatkan ialah sebagai berikutسَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُSami'allahu liman hamidahArtinya “Aku mendengar orang yang memuji-Nya”Bacaan I’tidal yang Perlu DilafalkanTidak hanya membaca kalimat “Sami'allahu liman hamidah” saat melakukan I’tidal, dikutip lewat Kumpulan Risalah Bimbingan Sholat Lengkap Muhajir dan Abdul Ghani Asykur 1989 41, setiap muslim juga dianjurkan untuk membaca doa lain ketika selesai membaca kalimat samiallah tadi dalam keadaan tubuh yang berdiri sempurna. Berikut bacaan doa I’tidal yang perlu dilafalkan umat muslimرَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُRabbanaaa lakal hamdu mil-ussamaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syik-ta min syai-im ba’duArtinya “Ya Allah Tuhan Kami! Bagi-Mu lah Segala Puji, sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh barang yang Kau kehendaki sesudah itu.”Setelah selesai menerapkan gerakan serta bacaan I’tidal tadi, maka kita bisa melanjutkan rukun sholat lainnya dengan bersujud, sambil diawali dengan membaca takbir Allahu Akbar.Sebagai bagian dari rukun shalat, maka ingatlah untuk melakukan gerakan I’tidal dan membaca doa I’tidal tadi sebagai bagian dari amalan sunnah. Semoga ulasan tadi dapat bermanfaat. HAI
Madzhab Syafi‟i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas. Syafi‟i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih.
Rukun shalat yang ketujuh adalah i’tidal, yaitu posisi berdiri tegak lurus setelah melaksanakan ruku’. Tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang mengisahkan tentang bagaimana Rasulullah ﷺ meletakkan tangan pada saat i'tidal apakah bersedekap atau melepaskannya? Terdapat beberapa hadits tentang kisah Rasul menaruh tangan di bawah dada, namun masing-masing konteksnya adalah saat Rasullullah ﷺ sedang berdiri sebelum ruku’. Di antara hadits yang menceritakan hal tersebut adalah pada waktu Wâil bin Hujr berkisah sebagaimana berikut iniأَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا، سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ Artinya “Wâil bin Hujr melihat Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya saat memasuki shalat sembari takbîratul ihrâm. Hammâm memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah saat mengangkat kedua tangannya adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah ﷺ memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah akan ruku’, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu ia mengucapkan samillâhu liman hamidah, Rasul mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, ia sujud dengan kedua telapak tangannya.” HR Muslim 401 Hadits di atas tidak menunjukkan posisi tangan Rasulullah saat i'tidal, namun mengisahkan letak tangan pada waktu berdiri saja. Oleh karena itu kita perlu melihat bagaimana para ulama menggali lebih lanjut. Imam Ramli dalam karyanya Nihâyatul Muhtâj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya. Teks lengkapnya sebagai berikut وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ صَدْرِهِ أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِArtinya “Menaruh kedua tangan di bawah dada, maksudnya kegiatan tersebut dilaksanakan pada semua posisi berdirinya orang shalat sampai ia akan ruku’. Jika akan ruku’ maka dilepas. Teks tersebut tidak berlaku pada saat berdiri i'tidal. Pada waktu i'tidal, janganlah menaruh kedua tangannya di bawah dadanya, namun lepaskan keduanya. Baik saat membaca dzikirnya i'tidal, atau bahkan setelah selesai qunut.” Syihabuddin ar-Ramli, Nihâyatul Muhtâj ilâ Syarhil Minhâj, [Dârul Fikr, Beirut, 1984, juz 1, halaman 549Senada dengan pendapat di atas, Syekh Al-Bakri yang terekam dalam kitab Iânatut Thâlibîn juga mengatakan hal yang sama. Hal ini bisa disimak dalam tulisannya berikutوَالْأَكْمَلُ أَنْ يَكُوْنَ ابْتِدَاءُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ، وَيَسْتَمِرُّ إِلَى انْتِهَائِهِ ثُمَّ “Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.” Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Iânatut Thâlibin, [Dârul Fikr, 1997], juz 1, halaman 158Dengan demikian Syekh Al-Bakri mengajurkan agar melepaskan tangan setelah takbir, bukan menaruh di bawah dada. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan. Adapun apabila yang bersedekap tidak sampai membatalkan shalat. Wallâhu a’lam. Ahmad Mundzir Berikutini adalah penjelasan singkat, mengenai perbedaan fiqih dan ushul fiqih agar dapat dipahami dengan jelas arti dan maknanya. Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih: 1. Pengertian Fiqih. Fiqih sendiri memiliki beberapa arti, untuk secara etimologi fiqih sendiri dapat diartikan sebagai sebuah pengetahuan atau pemahaman yang mana sangat mendalam. Hukum dan Tata Cara I’tidal dalam Salat I’tidal artinya adalah bangkit setelah rukuk sesuai posisi semula. Apabila posisi semula adalah berdiri dengan punggung lurus, maka i’tidalnya adalah dengan kembali berdiri dengan punggung yang lurus. I’tidal termasuk salah satu rukun salat dan hukumnya wajib dikerjakan. Apabila tidak i’tidal dilakukan, maka salat seseorang menjadi batal. Dalil wajibnya mengerjakan i’tidal ada banyak hadis Rasulullah SAW, di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah RA tentang sahabat yang belum paham cara salat/yang belum tepat cara salatnya yang dikenal dengan istilah hadis al-musi’u shalatuhu. Nabi Muhammad SAW bersabda …ثم اركَعْ حتى تَطمَئِنَّ راكِعًا، ثم ارفَعْ حتى تستوِيَ قائِمًا… “… lalu rukuklah dengan tuma’ninah, kemudian angkatlah badanmu hingga berdiri secara lurus” al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain …ثم اركَعْ حتى تَطْمَئِنَّ راكعًا ، ثم ارْفَعْ حتى تَعْتَدِلَ قائمًا… “… kemudian rukuklah sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian angkatlah badanmu sampai berdiri lurus” al-Bukhari dan Muslim. Baca Juga Batasan Panjangnya Mengucapkan Takbiratul Ihram Tata Cara I’tidal Tata cara i’tidal adalah ketika setelah rukuk dan akan berdiri untuk i’tidal, maka orang yang salat mulai berdiri sambil mengucapkan tasmi’ sami’allahu liman hamidah dan mengangkat tangan sampai sejajar dengan pundak baca tulisan tentang mengangkat tangan ketika takbir. Di antara dalilnya adalah hadis عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ Dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari Ayahnya Ibn Umar RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai salat, ketika takbir untuk rukuk, dan juga ketika mengangkat kepala dari rukuk. Ketika bangkit dari rukuk beliau mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd”. Beliau tidak melakukan hal itu ketika suju. al-Bukhari Pada riwayat lain dari Abu Hurairah RA ان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا قامَ إلى الصَّلاةِ يُكبِّرُ حينَ يقومُ، ثم يُكبِّرُ حينَ يركَعُ، ثم يقولُ سمِعَ اللهُ لِمَن حَمِدَه، حين يرفَعُ صُلْبَه مِن الرُّكوعِ، ثم يقولُ وهو قائمٌ ربَّنا ولك الحمدُ Rasulullah SAW ketika berdiri untuk salat beliau bertakbir ketika berdiri, dan bertakbir ketika rukuk, kemudian mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” ketika bangun dari rukuk hingga meluruskan tulang sulbinya kemudian mengucapkan “rabbana walakal hamdu” al-Bukhari dan Muslim. Ketika sudah berdiri i’tidal, maka harus berdiri dengan lurus dan tenang sejenak thuma’ninah. Tidak boleh tergesa-gesa dalam i’tidal dan berdiri hanya sekenanya. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis dari Abu Humaid al-Sai’idi RA فإِذا رفَع رأسه استوى قائماً حتى يعود كلّ فقار مكانه Rasulullah SAW ketika mengangkat kepalanya bangkit dari rukuk beliau kemudian berdiri lurus tegak hingga setiap ruas tulang punggung kembali berada kepada posisinya semula al-Bukhari Dalam hadis dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda إن الله لا ينظرُ يوم القيامة إلى مَن لا يقيم صُلبَه بين ركوعه وسجودِه Sesungguhnya di hari kiamat Allah tidak akan memandang orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di antara rukuk dan sujud”. Al-Tirmidzi Bca Juga Hukum Takbir Intiqal Dari Ali bin Syaiban RA, ia berkata خرَجنا حتى قدِمنا على رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فبايَعناهُ وصلَّينا خلفَهُ ، فلَمحَ بمؤخَّرِ عينِهِ رجلًا ، لا يقيمُ صلاتَهُ ، – يعني صلبَهُ – في الرُّكوعِ والسُّجودِ ، فلمَّا قضى النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ الصَّلاةَ ، قالَ يا معشرَ المسلِمينَ لا صلاةَ لمن لا يقيمُ صلبَهُ في الرُّكوعِ والسُّجودِ Kami melakukan perjalanan hingga bertemu Rasulullah SAW. Kemudian kami berbai’at kepada beliau lalu salat bersama beliau. Ketika salat, beliau melirik kepada seseorang yang tidak meluruskan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud. Ketika beliau selesai salat, beliau bersabda Wahai kaum Muslimin, tidak ada salat bagi orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di dalam rukuk dan sujud”. Ibnu Majah Dalam riwayat lain, dari Abu Mas’ud al-Badri RA, Nabi Muhammad SAW bersabda لا تُجْزِىءُ صلاةٌ لا يُقيم ُالرجلُ فيها يعني صُلْبَهُ في الركوعِ والسجودِ Tidak sah salat seseorang yang tidak menegakkan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud” Abu Daud dan al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi mengatakan hadis ini hadis hasan sahih. Wallahu A’lam Redaksi menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email Dianatailmu pengetahuan agama Islam yang berkembang dan maju adalah ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf c. Ilmu Fiqih Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang ada pada masa bani abbasiyah mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga saat ini misalnya, imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam atau fiqih al